‘Buanglah sampah pada tempatnya’ atau ‘memilah sampah pada tempatnya’ ?
Sering kali tulisan ini kita temukan di tempat umum. Kalimat ini juga sudah menjadi slogan di banyak sekolah, dan kantor. Bagi kebanyakan orang, slogan ini cukup baik. Iya dong, buang sampah ditempatnya supaya jalanan ngga kotor. Buang sampah ditempatnya lebih baik daripada buang sampah di sungai atau membakar sampah.
Well. I disagree.
Bagi teman-teman yang sudah mengenal gaya hidup minim sampah, pasti tau kalau membuang sampah pada tempatnya saja tidak cukup. Kenapa? Karena sampah kita yang ada di tempat sampah akan berakhir di TPA. Sampah yang punya potensi nilai ekonomi karena bisa di daur ulang pun bisa berujung ke TPA simply karena sudah terkontaminasi dengan banyak hal sehingga menjadi tidak layak daur ulang dan tidak bernilai ekonomi lagi. Bukankah ini suatu hal yang merugikan, membuang sampah yang SEHARUSNYA bisa di daur ulang tapi malah berakhir ke TPA?
Membuang sampah ke tempat sampah, sama buruknya dengan membuang sampah ke sungai dan membakar sampah. Sebab, sampah yang berakhir di TPA tanpa pemilahan akan mencemari lingkungan di TPA. Air rembesan (air lindi) bisa masuk ke dalam air tanah dan mencemari air tanah yang akan kita gunakan untuk mandi, mencuci dll. Belum lagi cemaran gas metana dari sampah organik yang tertimbun dan potensi mikroplastik yang ada di TPA.
Oke. Jadi kita semua tahu, bahwa buang sampah pada tempatnya itu buruk bagi lingkungan dan kesehatan.
Tapi ada isu apalagi selain isu lingkungan dan kesehatan?
Akhir-akhir ini saya terusik dengan pemikiran bahwa permasalahan sampah ini ngga cuma masalah lingkungan ataupun masalah kesehatan. Tapi juga masalah sosial, artinya masalah manusia. Pernah ngga sih terpikir, dengan TIDAK MEMILAH sampah dari rumah, secara tidak langsung, kita itu menyusahkan orang lain?
Begini. Bayangkan kalau kalian seorang pemulung, yang hidup day to day dari sampah. Bayangkan kalau kalian menerima sampah sudah bersih, terpilah dan rapi. Bukankah ‘pekerjaan’ kalian sebagai pemulung ini akan jauuuuhhh lebih ringan? Selain itu bukankah kalian tidak perlu lagi mencari sampah yang bernilai ekonomi di tumpukan gunung sampah TPA? Bukankah kalian tidak perlu mengorbankan keselamatan dan kesehatan kalian di TPA demi menyambung hidup?
Sebagai catatan, bank sampah dan semua waste management company kebanyakan hanya menerima sampah bersih, kering, dan terpilah. Kenapa harus bersih, kering dan terpilah? Karena sampah yang basah dan kotor tidak memiliki nilai ekonomi lagi dan tidak bisa di daur ulang.
photo by dailymail.co.uk
Lalu, bicara tentang tukang sampah. Kalau sampah kita sudah terpilah dengan baik, tentu ‘tukang sampah’ ini tidak perlu lagi bergulat dengan sampah bau. Sekarang ini, kebanyakan sampah rumah tangga di Indonesia tidak terpilah. Hal ini menyebabkan tukang sampah harus bergulat dengan bau sampah yang menyengat dan beresiko bagi kesehatan mereka. Padahal, itu sampah hasil dari konsumsi kita lho…………….jadi sebetulnya yang ‘tukang nyampah’ itu siapa sih?
photo by dailymail.co.uk
Kalau diliat dari sudut pandang ini, jadi nyesek dan sedih ngga sih?
Mari kita tanya kembali ke lubuk hati kita yang paling dalam:
- Kenapa sih kita harus membebankan sampah kita, yang jelas-jelas itu adalah tanggung jawab dari hasil konsumsi kita ke orang lain?
- Bukankah ini suatu hal yang egois dan tidak adil?
- Bukankah yang kita juluki pemulung atau tukang sampah ini juga manusia normal seperti kita yang ingin hidup dengan ‘layak’?
“lho kan itu sudah pekerjaan mereka!”
Tunggu, tunggu. Siapa sih yang mau menjadikan pemulung atau tukang sampah sebagai pekerjaan utama? Atau ada diantara kalian yang memang becita-cita jadi pemulung atau tukang sampah?
Mungkin kalau di negara lain, dimana pemulung itu ‘dihargai’ dengan layak sebagai manusia, ada yang bercita-cita sebagai pemulung aka waste management company. Tapi dalam kasus di Indonesia, apa ada dari kalian yang menganggap pemulung atau tukang itu sebuah ‘pekerjaan’? apa ada diantara kalian yang bercita-cita menjadi tukang sampah atau pemulung? Kalau ada opsi yang lebih baik dari memulung sampah, pasti mereka juga akan beralih ke pekerjaan lain. Sayangnya, mungkin mereka tidak punya pilihan, begitu juga anak-anak yang tinggal di daerah TPA yang orang tuanya bekerja sebagai pemulung. Apakah mereka punya pilihan lain untuk pindah dan tinggal jauh dari orang tua mereka?
photo by dailymail.co.uk
Memilah sampah dari rumah berarti kita telah memanusiakan manusia. Kita memanusiakan ‘pekerjaan’ pemulung dan tukang sampah dengan meringankan ‘pekerjaan’ mereka. Kita bertanggung jawab atas apa yang kita konsumsi dan kita tidak membuat susah orang lain.
Ini menjadi hal yang harus kita renungkan bersama. Bahwa memilah sampah itu bukan hanya sebagai bentuk tanggung jawab kita terhadap apa yang kita konsumsi atau misi untuk menyelamatkan lingkungan, melainkan juga untuk memanusiakan manusia lain.
Yuk, pilah sampah dari rumah, mulai dari kita, mulai hari ini. Sudahkah kamu pilah sampah hari ini?
-
Product on saleKomposter Ember Sustaination 25 LOriginal price was: Rp 299.000.Rp 272.090Current price is: Rp 272.090.
-
Tutup Casing Biopori – Lubang Resapan AirRp 79.000
Terkadang mikir kalau mau buang sampah rumah. Hanya 1 bak sampah. Setelah banyak membaca, melihat di youtube, dan mengalami buang sampah di Korea Selatan jadi mengubah cara memperlakukan sampah rumah tangga. Jadi, mulai memilah sampah. Membuat 3 bak sampah sehingga tidak menyusahkan petugas. Tapi, kita sudah memilah sampah sedangkan di pengumpulan sampah depan rumah hanya ada 1 bak. Hal ini yang masih menjadi pemikiran dalam sejauh ini. (Anak kost).
Sangat setuju. Saya sdh melakukan hal ini scr mandiri di rumah sjk thn 2000. Awalnya krn ingin memperbaiki kondisi tanah pekarangan rumah yg sebelumnya dipakai masyarakat sbg tempat pembuangan sampah mulai sampah domestik , hingga bongkaran bangunan