#SustainHero 3: Berkelana Tanpa Sampah ala Siska Nirmala, Zero Waste Adventure

Banyak orang mulai menerapkan gaya hidup minim sampah! but, zero waste travelling, is another level! apalagi naik gunung tanpa sampah. Minggu lalu, Sustaination Indonesia berkesempatan untuk mewawancara Siska Nirmala, wanita dibalik zero waste adventure.

Siska secara aktif mengkampanyekan budaya zero waste melalui media sosialnya dan juga melakukan ekspedisi nol sampah! Ekspedisi nol sampah ini merupakan perjalanan Siska ke lima gunung tanpa menghasilkan sampah. Perjalanan Siska dalam ekspedisi nol sampah ini juga diterbitkan dalam bentuk buku: Zero Waste Adventure. Yuk kita simak bagaimana cerita naik gunung tanpa sampah ala Siska Nirmala! 

Awalnya memulai zero waste adventure travel bagaimana ceritanya?

Mulai kenal dengan zero waste di tahun 2010, saat pelatihan dari ypbb. Lalu ada kesempatan naik ke gunung Rinjani (2010), kemudian Semeru (2011) melihat kondisi sampah banyak sekali di gunung itu. Waktu itu, saya merasa miris dan tertampar karena saya pun masih bawa sampah dari makanan kemasa. Jadi, teringat kembali: “kenapa ga zero waste waktu naik gunung?”

Tapi saya pikir, percuma kalau zero waste cuma pas naik gunung kalau keseharian masih nyampah. Akhirnya saya niatkan untuk berubah dulu di keseharian, dimulai awal tahun 2012, setelah itu baru berani memulai ekspedisi nol sampah di tahun 2013. 

Kenapa memutuskan untuk naik gunung dan ekspedisi nol sampah?

Motivasi utama untuk naik gunung malah karena ingin share soal zero waste. Jadi bukan naik gunungnya yang utama, tapi pesan zero waste nya yang ingin disampaikan lewat metode kegiatan bertualang. Nah, tapi kenapa naik gunung? Naik gunung ini lagi tren di kalangan anak muda. Selain itu, potensi sampah yang dihasilkan saat naik gunung ini jauh lebih besar dibanding kalau kita hanya jalan-jalan atau travelling biasa, karena budaya naik gunung di Indonesia itu beberapa hari pendakian dan pasti bawa bekal makanan dan minuman. 

Ada satu budaya naik gunung lagi yang harus di dobrak di Indonesia, yaitu budaya mengemas barang (packing) dengan kantong plastik dan membawa Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Mindset dan budaya ini yang sulit diubah oleh kebanyakan pendaki karena budaya ini sudah menjadi ‘prosedur umum’ pendakian. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk menularkan budaya zero waste ini ke pendakian gunung. Dari sini muncullah ide ekspedisi nol sampah untuk menularkan virus zero waste ini ke teman-teman pendaki lain.

Ekspedisi dimulai tahun 2013 di 5 gunung selama 3 tahun dimulai dari Gunung Gede, Gunung Tambora, Gunung Papadandayan, Gunung Lawu, dan Gunung Argopuro. 

Apa saja yang harus disiapkan kalau mau zero waste travelling?

Siapkan peralatan yang bisa menunjang keperluan kita selama perjalanan untuk menghindari potensi sampah, misalnya botol minum dan wadah makan sendiri. Untuk Hiking, bisa siapkan makanan yang tidak berkemasan dan air perbekalan selama naik gunung. Juga, saya selalu memilih naik gunung yang memiliki mata air.

zero waste adventure
Perbekalan Naik Gunung tanpa sampah, Source: Facebook Zero Waste Adventure

Untuk Perjalanan saya pilih naik kereta, kecuali waktu gunung Tambora. Selama di kereta saya siapkan perbekalan makanan dan minuman juga supaya tidak menghasilkan sampah selama perjalanan. Sebelum naik kereta malam, wajib makan malam dulu, selain itu bawa cemilan selama perjalanan. Kalau butuh makanan berat ya bawa juga dari rumah. Bawa termos sendiri.

Kuncinya itu di persiapan perbekalan. 

Segala sesuatu itu bisa diusahakan kalau kitanya niat.”

Untuk di pesawat rute domestik, saya pilih kelas ekonomi yang biasanya tanpa suguhan makanan. Sebetulnya saya jarang juga berpergian dengan menggunakan pesawat. Semakin kita ingin mengurangi jejak sampah dan karbon, ini akan berpengaruh ke mindset kita yang ujungnya akan mengurangi durasi berpergian. 

Bagaimana cara mengolah sampah organik saat hiking ?

Dikubur dalam tanah. Saat hiking, walaupun zero waste, bukan berarti harus ribet dengan banyak bawa wadah makanan. Penting juga untuk bawa alternatif perbekalan yang praktis. Misalnya timbel, ikan asin, telur asin, daging atau ayam yang sudah jadi atau setengah matang (misal: rendang).

 Naik gunung tanpa sampah identik dengan mahal, bagaimana pendapat Mbak Siska?

Bukan karena zero waste nya jadi mahal, tapi naik gunungnya sendiri memang sudah hobi yang mahal. Tapi kembali lagi, coba lihat harga tas carrier kamu berapa? Sepatu hiking berapa? Sebetulnya peralatan penunjang seperti botol minum, wadah makanan dan dry bag (pengganti plastik packing) ini kan tidak semahal harga tas carrier dan sepatu hiking. Jadi sebetulnya persoalan mahal dan murah ini relatif, kuncinya di mindset: jangan liat harga, tapi lebih ke peduli lingkungan di sekitar kita.

Terus, naik gunung sudah sesuatu ribet, tapi kenapa masih mau dilakukan? Karena menyenangkan! Nah, zero waste pun akan terasa tidak ribet kalau kamu menjalankannya dengan senang hati. Selama mindsetnya masih antipati dengan zero waste pasti akan terasa berat. Dan kalau memang belum siap, jangan naik gunung dulu. Biasanya yang suka bilang ribet, artinya dia belum paham soal ilmu mengatur perbekalan, dan managemen pendakian saat naik gunung.

zero waste adventure
Peralatan Pendukung Zero Waste Hiking, Image by Siska Nirmala @zerowasteadventure

Apa pengalaman menarik dan tantangan terberat saat zero waste travelling/hiking?

Tantangan terberat saat ekspedisi ini setiap naik gunung, saya selalu ajak teman dan saya usahakan orang yang berbeda. Ini sengaja diatur seperti ini untuk menularkan budaya zero waste ke orang-orang yang berbeda. Tantangan terberatnya adalah untuk mengajak orang-orang ini membawa perbekalan yang tidak menghasilkan sampah ini lumayan effort meskipun mereka pun semangat juga (karena gunung yang dituju). Perbekalannya masih harus saya yang atur dan disesuaikan dengan selera tim yang ikut mendaki.

Setiap perjalanan selalu menarik, tapi ada yang paling berkesan saat mendaki Gunung Argopuro (2015). Saat itu saya mendaki dengan 2 orang teman lain. Gunung Argopuro ini sepi dan merupakan gunung dengan jalur pendakian terpanjang di Indonesia. Kami membutuhkan 5 hari untuk mendaki gunung ini dan tidak menghasilkan sampah. Nah, waktu mendaki gunung ini, kami bertemu dengan 2 rombongan pendaki lain. Di hari kelima kami bertemu dengan salah satu rombongan (4 orang). Mereka membawa 1 karung sampah. Nah disitu mereka kaget karena rombongan saya tidak membawa sampah sama sekali, karena memang tidak ada sampah yang kami hasilkan selama pendakian 5 hari. Disitu kami jadi diskusi, dan senang sekali karena jadi ada perbandingannya

zero waste adventure

Bagaimana menyiasati tantangan agar tetap bisa zero waste saat travelling jarak jauh?

Yang penting kitanya yang berkomitmen. Jadi, leadernya harus bertanggung jawab untuk keseluruhan perjalanan. Karena di ekspedisi ini leadernya saya, jadi saya harus tetap berkomitmen untuk mendaki gunung tanpa sampah. Selama saya bisa menjaga komitmen ini, yang lain biasanya ikut aja.

Komitmen ini suatu hal yang penting, karena kalau misalnya kita mau naik gunung zero waste tapi masih makan mi instan atau merokok, pesan zero waste ini ngga akan sampai. Kalau memang ingin mengkampanyekan naik gunung zero waste, lebih baik siapkan diri dulu dari hidup sehari-hari. 

Mbak Siska, boleh cerita sedikit tentang buku zero waste adventure?

Buku ini bukan tentang perjalanan naik gunung saya sebetulnya, tapi lebih ke life changing experience saya bagaimana naik gunung ini berhasil merubah paradigma saya tentang sampah. Nah, mungkin orang lain juga bisa menemukan “trigger” lain yang bisa merubah paradima tentang sampah ini. Buat saya kegiatan berpetualang dan travelling ini adalah metode yang menyenangkan untuk mengedukasi orang lain tentang lingkungan, salah satunya zero waste. Karena, kalau cara edukasinya cuma “ceramah” pasti lupa. Tapi kalau cara edukasinya menyenangkan, misalnya dengan naik gunung, kita bisa langsung praktekkan zero waste dengan menyenangkan dan ngena! Dan mungkin ini memberikan pengalaman berbeda dan bisa menjadi trigger untuk orang lain memulai ber-zero waste.

Saya menulis buku karena background saya seorang jurnalis, jadi saya terbiasa untuk menjurnalkan perjalanan saya. Jadi setelah selesai ekspedisi nol sampah di tahun 2015, jurnal ini saya bukukan. Tapi buku ini baru terbit tahun 2017 bulan Mei karena sempat menunggu kabar dari penerbit sampai 1,5 tahun. Akhirnya, karena sudah terlalu lama, saya putuskan untuk indie publishing. Sebetulnya karena cetakan pertama ini indie publishing saya jadi diuntungkan karena saya bisa mengatur semua sendiri sesuai keinginan, seperti buku tidak pakai plastic wrap, dan tidak pakai plastik saat pengiriman. Cetakan kedua mudah-mudahan akan ada dalam waktu dekat, mohon doanya ya!


Jadi gimana? sudah siapkah kamu untuk berkelana tanpa sampah? atau sudah pernah berkelana tanpa sampah? apa tipsnya? share yuk!


 Get in touch with Siska Nirmala

Instagram Website Facebook

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *