Beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan berita tentang kebijakan Presiden yang mengeluarkan Limbah Batubara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3). Hal itu dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak pihak yang memberikan sikap kontra, dengan alasan bahwa hal itu akan membawa dampak yang lebih buruk bagi lingkungan salah satunya pencemaran tanah.
Tapi bagaimana fakta sebenarnya dampak pertambangan bagi pencemaran lingkungan khususnya pencemaran tanah? Hal itu akan dibahas lebih lengkapnya di bawah ini!
Tanah yang Tercemar
Telah dilakukan banyak penelitian, tentang dampak pertambangan batubara terhadap lingkungan, seperti yang dilakukan Badan Energi Internasional (IEA) yang menemukan bahwa bahan bakar fosil batubara menyumbangkan emisi CO2 hingga 44% dari total emisi global. Penelitian lain juga dilakukan oleh Greenpeace pada tahun 2014, yang menemukan bahwa sebanyak 45% sungai di Kalimantan sangat berpotensi tercemar oleh pertambangan batubara di sekitarnya. Simpulan keduanya menunjukkan bahwa pertambangan batubara membawa banyak dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk pencemaran tanah. Bahan kimia yang berbahaya banyak dihasilkan dalam proses pertambangan, yang selanjutnya bisa mencemari air di permukaan maupun air tanah di sekitarnya.
Itupun belum termasuk dengan aktivitas ledakan atau aktivitas lain dalam pertambangan batubara yang bisa menyebabkan erosi. Hal itu pun juga terbukti mengganggu habitat hewan dan tumbuhan dan memberikan racun terhadap rantai makanan. Meskipun pengusaha batubara berusaha mendirikan tanggul penahan, namun itu terbukti tak cukup menyelesaikan masalah. Terutama saat hujan, limbah batubara bisa dengan mudah hanyut dan pada akhirnya mencemari perairan atau lahan di sekitarnya seperti yang dialami oleh Alfrid, seorang warga Desa Danau, Kalimantan Tengah pada kejadian saat limbah lumpur menutupi lahannya pada tahun 2015(Mongabay,2016).
Hal yang hampir serupa juga diakibatkan oleh lahan perkebunan kelapa sawit. Seperti yang terjadi pada desa Sarudu di Kecamatan Matra, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Banyak petani yang mengeluh karena tanaman pertaniannya mengalami pencemaran tanah sehingga menurun drastis kualitasnya. Hasilnya tiga kali lebih sedikit dari lahan yang tidak berada di dekat perkebunan kelapa sawit. Bukan hanya itu, ketersediaan air untuk pertanian maupun aktivitas rumah tangga juga menurun drastis di sekitar lahan kelapa sawit.
Regulasi tentang Pencemaran Tanah
Sebenarnya Indonesia telah memiliki beberapa aturan lingkungan yang cukup detail dalam mengatur praktik pertambangan. Seperti misalnya Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Didalamnya dijelaskan bahwa setiap aktivitas pertambangan harus disertai dengan ijin khusus. Limbah pertambangan batubara diatur tersendiri dalam Peraturan Daerah Provinsi, sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Hanya saja sangat disayangkan belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan kualitas tanah dan pengendalian pencemaran tanah sebagai efek dari pertambangan batubara. Regulasi yang ada hanya mengatur untuk kerusakan lahan akibat kebakaran hutan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001.
Masalah itu diperburuk oleh penegakan hukum yang tidak tegas di lapangan. Perusahaan yang melanggar dan mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas pertambangannya telah merusak lingkungan sekitar, sering lolos dari hukum. Area pertambangan sangat jarang diperiksa dan kalaupun dijaga, sangat rentan dengan praktik korupsi atau ditangani oleh orang yang kurang ahli.
Menangani Pencemaran Tanah
Pihak yang sebenarnya bertanggungjawab dalam masalah pencemaran ini tentu saja adalah Pemerintah sebagai regulator dan perusahaan pertambangan yang menjadi pelaku. Pencemaran bisa diatasi dengan:
- Pemerintah
- Membuat regulasi yang spesifik membahas tentang pencemaran tanah yang mengikat perusahaan pertambangan batu bara untuk meminimalisir limbah dan polusinya.
- Menindak tegas perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara yang melanggar regulasi tersebut, supaya perusahaan lain bisa lebih terdorong untuk mematuhi aturan.
- Mengalihkan fungsi lahan yang sudah tercemar berat sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Dengan catatan bahwa sampah sudah dipilah sebelumnya dan sampah organik dibuat menjadi kompos.
- Perusahaan Pertambangan
Melakukan usaha pengembalian kesuburan tanah yang sudah tercemar dengan membuat kompos (black gold). Karena tanah Kompos atau terbukti bisa membantu mengembalikan kualitas kesuburan tanah. Penguraian yang terjadi pada pupuk organik membuat rasionya sama dengan rasio tanah dan suhu yang hampir sama dengan suhu lingkungan. Dari sana, unsur hara bisa dimanfaatkan dan diserap oleh tanaman sekitarnya dan mengembalikan produktivitas lahan yang sebelumnya tercemar bahan kimia.
Daripada sampah organik hanya menumpuk tak berguna di Tempat Pembuangan Akhir, lebih baik diolah menjadi Black Gold bukan?